Memahami Berbagai Masalah yang Dialami Anak Broken Home


Setiap keluarga pasti tidak ada yang menginginkan kondisi rumah tangganya berantakan atau broken home. Tak harus selalu perpisahan, keadaan tersebut juga dapat terjadi saat rumah tangga mengalami keretakan.

Entah itu berupa pertengkaran, perselisihan, perbedaan pendapat, kekerasan (KDRT) atau bahkan mungkin aksi saling diam. Hal tersebut dapat saja terjadi pada keluarga utuh dan mendatangkan dampak yang tidak jauh berbeda.

Faktor Broken Home

broken home - Sekolah Prestasi GlobalPhoto by Afif Kusuma on Unsplash

Keretakan di dalam rumah tangga dapat terjadi karena banyak hal, baik faktor internal maupun eksternal. Berikut beberapa situasi yang dapat menjadi penyebab masalah broken home pada anak, yakni:

1. Kondisi Perekonomian Keluarga

Tak dimungkiri, keuangan memegang peran yang sangat krusial di dalam rumah tangga. Uang memang bukanlah segalanya, tetapi banyak hal yang membutuhkan uang untuk pemenuhan.

Permasalahan ini juga sangat sensitif, sehingga sering memicu perdebatan. Entah itu karena gaji istri lebih besar, pendapatan suami kurang mencukupi, atau bahkan keduanya sibuk bekerja, sehingga anak tidak terurus.

2. Kurang Tanggung Jawab

Orang tua tidak hanya berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan materi anak saja, tetapi juga hal-hal lain yang bersifat lebih pribadi. Namun, tidak sedikit orang tua yang memercayakan anak kepada pengasuh dan sibuk dengan urusan masing-masing.

Meski ada baby sitter yang stand by selama 24 jam, tetapi hal seperti ini tetap dapat membuat anak merasa ditelantarkan. Oleh karena itu, tak jarang anak mencari perhatian orang tua dengan membuat masalah.

3. Sisi Egosentris Orang Tua

Egoisme ialah sebuah sifat yang selalu mementingkan kepentingan dan perasaan diri sendiri daripada orang lain. Sisi ini dapat terjadi, akibat luka di masa lalu atau belum mampu berdamai dengan diri sendiri.

Apabila tak terkendali, egoisme tentu dapat berakibat buruk, terutama di dalam rumah tangga. Oleh karena itu, sebelum memutuskan untuk berumah tangga, selesaikan permasalahan pada diri Anda terlebih dahulu.

4. Jauh dari Tuhan

Tuhan merupakan sebaik-baiknya pelindung dan tempat untuk meminta petunjuk atas apapun yang terjadi. Manusia yang mampu memusatkan kehidupannya atas dasar Tuhan akan memiliki ketenangan dan kedamaian, termasuk dalam berumah tangga.

Begitu juga sebaliknya, masalah akan lebih mudah menggoyahkan keluarga yang dibangun tidak berlandaskan agama. Terutama jika seorang suami tidak mampu menjalankan peran sebagai iman dan pengayom keluarga.

Bukan tidak mungkin, perselingkuhan, kebohongan, hingga perzinahan dapat menyusup dengan mudah. Dalam kata lain, agama memang menjadi hal utama saat menjalani ikatan pernikahan.

5. Kurang Edukasi

Di dalam Islam, pernikahan merupakan jalur untuk mendapatkan pahala berlimpah dengan jaminan surga. Tentu saja, hal tersebut sesuai dengan ujian dan pengorbanan yang harus dilalui bersama.

Maka dari itu, dibutuhkan pembekalan atau edukasi mengenai pernikahan, sebelum menjalaninya secara langsung. Sebab, setiap hal yang terjadi di dalam pernikahan merupakan pengalaman baru bagi masing-masing pasangan.

Edukasi akan memberi Anda pencerahan dan gambaran, sehingga mampu menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Misalnya tentang bagaimana cara menghadapi anak yang sedang tantrum.

Kondisi ini sepele, tetapi dapat memicu permasalahan besar apabila keduanya tidak mempunyai cukup ilmu. Oleh karenanya, jangan pernah merasa cukup untuk menggali ilmu dalam berumah tangga.

6. Perceraian Orang Tua

Faktor utama yang akan memicu gangguan pada mental dan jiwa anak ialah perceraian orang tua. Perubahan yang terjadi dalam keseharian secara signifikan akan membuat anak mulai bertanya-tanya.

Kondisi tersebut dapat semakin parah, saat anak terpaksa harus memilih untuk tinggal bersama ayah atau ibunya. Terkadang orang tua juga sampai bersitegang untuk memperjuangkan hak asuh anak-anaknya.

Pada dasarnya, tidak ada anak yang ingin tinggal hanya dengan satu orang tua saja. Setiap anak pasti memimpikan hidup harmonis dalam keluarga yang utuh, sehingga perpisahan akan sangat menghancurkan harapannya.

Dampak Broken Home untuk Anak

broken home - Sekolah Prestasi GlobalPhoto by Katherine Chase on Unsplash

Kondisi keluarga yang sudah tidak lagi sehat tentu juga akan dirasakan oleh anak-anak, karena struktur dan suasananya tidak lagi sama. Beberapa masalah yang dihadapi anak di dalam keluarga berantakan, meliputi:

1. Perubahan pada Peran Anak

Orang tua yang tidak memberi peran secara optimal, pada akhirnya justru akan mengubah peran anak itu sendiri. Misal bagi anak sulung yang mau tidak mau harus lebih cepat berdiri untuk mengayomi adik-adiknya.

Anda pasti pernah mendengar istilah anak dewasa sebelum waktunya, bukan? Hal ini terjadi karena anak sulung harus mengambil tanggung jawab dan peran yang belum waktunya ia rasakan.

2. Lebih Emosional

Menurut penelitian dari World Psychiatry, perpisahan yang terjadi pada orang tua akan sangat berisiko mengganggu kesehatan anak, terutama bagian mentalnya. Sebab, ikatan batin yang terjalin antara orang tua dan anak itu bukan isapan jempol semata.

Anak dapat merasakan apa yang terjadi, meski mungkin orang tua sudah berusaha untuk menampakkannya. Kondisi tersebut akan semakin berbahaya, terutama saat anak tidak mampu mengutarakannya.

Berbagai masalah emosional dapat mengancam anak, seperti stres dan depresi. Kabar buruknya, dampak ini dapat bertahan hingga puluhan tahun kemudian, bahkan saat anak sudah berumah tangga.

3. Perubahan Perilaku

Saat orang tua bermasalah, maka akan memengaruhi suasana hati anak atau mood swing. Akibatnya, ia akan menjadi lekas marah, meski masalah yang terjadi tidaklah terlalu besar.

Ia menjadi lebih sering berbohong, suka berkata-kata kasar, bahkan bertindak kekerasan. Dalam kasus lain, ada anak yang justru berubah menjadi sangat pendiam dan menarik diri dari lingkungan sekitarnya.

4. Sulit Percaya

Apa yang terjadi di dalam rumahnya sedikit banyak akan memengaruhi pola pikir anak, tidak terkecuali dalam hal kepercayaan. Anak yang tumbuh dalam keluarga tidak utuh akan mengalami kesulitan untuk memercayai orang lain.

Di dalam hatinya, ia selalu waspada dan merasa dibohongi dengan lingkungan sekitar. Perasaan seperti ini akan menyulitkannya baik di masa kini maupun mendatang, sehingga lebih mudah frustasi.

Ia berkecil hati dengan merasa tidak ada satu orang pun yang mampu memahami posisi dan perasaannya. Kondisi ini cukup serius, karena juga akan menyulitkannya untuk berhubungan dengan lawan jenis di masa mendatang.

5. Tidak Teguh dalam Memegang Prinsip

Anak yang tidak mempunyai tempat untuk berkeluh kesah dan mencurahkan isi hatinya akan cenderung mencari alternatif lain untuk menghibur diri. Dia akan mencari “rumah” lain yang membuat anak merasa nyaman, meski salah.

Akibatnya, anak berjalan tak tentu arah dan mudah terpengaruh oleh lingkungan, karena memang dia tidak mempunyai panutan serta prinsip. Sementara itu, prinsip hidup adalah hal mendasar yang harus dimiliki setiap orang.

6. Mencari Perhatian

Orang tua yang tidak lagi utuh dapat memengaruhi hubungan sosial anak, baik di lingkungan rumah maupun sekolah. Sebagian akan bertindak agresif untuk mengekspresikan kekecewaan, kegelisahan, maupun kurangnya perhatian.

Apabila tidak segera memperoleh penanganan yang tepat, hal tersebut dapat menganggu hubungan anak dengan teman-teman sebayanya. Kondisi yang paling sering terjadi adalah perundungan atau tindak bullying.

7. Masalah Pendidikan

Satu lagi dampak yang paling sering terjadi saat anak menjadi korban pertengkaran maupun perpisahan orang tuanya, yakni prestasi akademik menurun. Prestasi memang bukan kunci sukses anak, tetapi dapat menjadi warning bagi orang tua.

Hal ini selaras dengan pernyataan dari Proceeding of the National Academy of Science, di mana perceraian akan memengaruhi konsentrasi belajar anak. Akibatnya, anak menjadi malas belajar atau bahkan sering membolos sekolah.

Cara Mengatasi Anak Broken Home

Meski dampak keretakan rumah tangga bagi anak sudah menjadi rahasia umum, sayangnya perpisahan tak selalu dapat untuk dicegah. Untuk meminimalisir dampak tersebut, cobalah untuk menerapkan cara-cara berikut:

1. Jangan Bohongi Anak

Tidak ada kebohongan yang memang benar-benar bertujuan untuk kebaikan, termasuk menyembunyikan fakta perpisahan pada anak. Mungkin secara usia anak memang belum matang, tetapi perasaannya jauh lebih kuat.

Alih-alih terus membohonginya, cobalah untuk menjelaskan secara perlahan bahwa Anda tidak lagi bersama pasangan. Tegaskan bahwa apa yang terjadi bukan salah anak, tetapi untuk kebaikan bersama.

2. Hindari Mempertontonkan Perselisihan

Perpisahan terjadi tentu karena sebuah masalah, sehingga perbedaan pendapat dan pola pikir pasti ada. Meski demikian, cobalah untuk menekan sedikit ego serta emosi, terutama di hadapan anak.

Jangan mempertontonkan perpecahan, pertengkaran, atau bahkan kekerasan di hadapan anak. Hal ini hanya akan melukai dan membuat anak membenci salah satu dari kedua orang tuanya.

3. Berikan Perhatian Lebih

Tidak lagi tinggal di bawah atap yang sama, berarti anak akan kehilangan satu sosok untuk waktu bersamaan. Agar anak tidak benar-benar merasa kehilangan hal tersebut, maka berikan perhatian lebih banyak kepadanya.

Bangun kembali bounding dengan anak dan berusahalah untuk memahami apa yang diinginkannya. Pahamilah bahasa cinta yang dimiliki anak, dengan begitu Anda dapat memberi porsi yang pas.

4. Menerapkan Co-Parenting

Peran ayah di dalam keluarga adalah sebagai pengayom dan superhero bagi anak-anak. Sementara itu, peran sang ibu juga tak kalah penting, yakni sebagai tempat berpulang yang nyaman.

Oleh karena itu, tidak mungkin anak dapat memilih salah satu dari kedua orang tuanya. Di sinilah pentingnya orang tua untuk menekan ego serta gengsi untuk tetap bekerja sama dalam pengasuhan atau co-parenting.

Meski hak asuh jatuh pada pihak ibu, bukan berarti sang ayah benar-benar melepaskan tanggung jawabnya. Sebab, anak tetap memerlukan peran ayah untuk membangun kepercayaan diri dalam diri anak.

5. Dekatkan Anak dengan Tuhan

Penanaman nilai-nilai agama sejak dini akan membuat mental serta perasaan anak menjadi lebih matang dan mampu menerima penjelasan. Refleksikan apa yang sedang terjadi sebagai ketentuan dan takdir dari Tuhan, tanpa harus menyalahkan.

Di sinilah peran penting untuk lebih selektif dalam memilih pendidikan bagi anak. Sebisa mungkin, carilah sekolah yang mempunyai lingkungan baik dan menanamkan pondasi agama.

Kesimpulan

Setiap rumah tangga pasti akan mengalami berbagai ujian dan tak jarang berakhir pada keputusan untuk berpisah. Tidak selalu mempertahankan rumah tangga menjadi jalan terbaik, tetapi perceraian juga pasti akan memberi luka.

Maka dari itu, edukasi diri sebelum memulai hal-hal baru, agar Anda mempunyai wawasan dan bahan pertimbangan yang lebih luas. Selain itu, dekatkan diri kepada Tuhan untuk menguatkan hati dan keimanan.

Orang yang paham ilmu dan perannya menurut agama akan menjalankan tugas serta tanggung jawab dengan baik. Bagi anak, agama juga akan menjadi pondasi untuk menjalani kehidupan di masa kini dan mendatang.

Broken home memang bukan impian, tetapi menentukan pendidikan untuk anak adalah pilihan. Prestasi Global adalah lembaga pendidikan berbasis Islami yang akan menanamkan kecintaan agama dalam diri anak dengan lebih baik lagi.

Comments

Popular posts from this blog

Aspek Sosial Prasekolah

Berikut 7 Cara Menghilangkan Dengkuran Anak Saat Tidur

Sekolah Dasar Jakarta